Siapa sih yang tidak mengenal Raden Mas Soewardi Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara)?, yang lahir di Yogyakarta pada 02 Mei 1889 sebagai Bapak Pendidikan
Nasional Bangsa Indonesia dan pendiri National Onderwijs Institut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa). Karena buah pemikirannyalah, bangsa ini
memiliki warisan pemikiran dasar pendidikan untuk memajukan bangsa Indonesia
secara keseluruhan tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, status
sosial, dan sebagainya. Inilah yang menjadi tonggak Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia.
Bulan Mei adalah salah satu nama bulan dalam kalender Masehi yang memiliki
makna yang mendalam dan bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia, karena pada
hari itu yaitu tanggal 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sejak kecil dulu kita selalu memperingati Hardiknas dengan upacara bendera
bahkan berbagai event perlombaan di instansi pendidikan sering digelar. Begitu
pentingnya Hardiknas, hingga sadar ataupun tidak sadar, Hardiknas telah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan kita pada pendidik dan
orang-orang, terutama yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kebudayaan bangsa
dan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup
bangsa Indonesia, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian
rupa, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan
nasional bangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan pendidikan bangsa
Indonesia secara geografis, domografis, histories, dan kultural dengan berbagai
ciri khasnya.
Pendidikan sakit
Namun, sudahkah kita memaknai hari Pendidikan nasional dengan memahami secara
mendalam serta memanifestasikan secara komprehensif terutama bagi kita yang
bergelut di dalam dunia pendidikan?
Berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita di Hardiknas kali
ini, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik
individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan
zaman.
Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, seperti baru-baru
ini dilansir oleh Jawa Pos terdapat 433 pengaduan pelaksanaan UN seperti
kecurangan 213, kebocoran soal 71, jual beli soal 15, pungutan ujian 28, kekurangan soal 4, soal rusak 1, soal tertukar 2 kunci
jawaban lewat sms 73 pengaduan.( Jawa Pos, 20/4/2012, hal. 1)
Moral siswa kita terus menjadi sorotan di masyarakat, aksi anak-anak di
Medan: unas baru saja tuntas dan belum tentu lulus sudah konvoi di jalan
mengganggu ketertiban, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap
muridnya. Sampai sinetron-sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik
para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan
pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itu lahirlah komunitas
kosmopolitan dan hedonis macam dance
street clubs, dugem club, genk motor, hippies, anak nongkrong, yang padat
oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa.
Komunitas yang lahir dengan
parameter moralnya sendiri, generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan
bangsa lain, generasi yang tercerabut dari akar budayanya, memposisikan agama
dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi, pertarungan kebudayaan dan karakter
yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun sekarang ternyata bukan
lagi menjadi tameng pelindung pemelihara jati diri. Padahal, perubahan global
yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional,
spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.
Rendah dan terpuruknya system pendidikan kita dewasa ini sudah seharusnya segera
disadari. Demokrasi pendidikan, keterbukaan, desentralisasi, otonomisasi dan
sebagainya dalam menyelenggarakan pendidikan secara resmi dan normative sudah
pula kita sosialisasikan secara meluas. Namun tampaknya belum terwujud secara
maksimal.
Lembaga pendidikan yang secara kualitatif harus terus berkembang, nyatanya
belum berhasil secara baik karena lembaga akreditasi/assesor seringkali
terjebak pada data-data dan dokumen yang sebatas bahan bacaan tapi tidak
melihat secara faktual di lapangan.
Tenaga pendidik yang diharapkan meningkat secara kualitatif dan
professional dengan stimulus insentif sertifikasi guru ternyata juga tidak
banyak berubah, sebaliknya karena sibuk mengurus administrasi sertifikasi
banyak guru mangkir , anak-anak ditinggal mengurusi sertifikasi. Peserta didik
yang diharapkan juga terus meningkat dengan indikator hasil capaian UAN/UNAS,
ternyata terus mendapat kecaman dan kontroversi dari masyarakat luas, terlepas karena
parameter keberhasilan tidak hanya berkutat pada angka-angka, tetapi juga harus
diperhatikan faktor-faktor lain secara komprehensif.
Sementara anggaran pendidikan yang
terus meningkat, justru malah semakin membuat nafsu para penikmat anggaran semakin bersemangat untuk membuat proyek yang
dibesar-besarkan anggarannya dan diperkecil ketika dipraktikkan di lapangan.
Anggaran baik yang bersumber dari APBN maupun APBD yang penuh dengan kebocoran
dan kebocoran di berbagai lini.
Sementara itu, upaya pemerintah untuk menaikkan secara kualitas dan
kuantitas Sumber Daya Manusia di lembaga pendidikan negeri, ternyata juga harus
menanggung konsekuensi. Kenyataannya pemerintah menyelenggarakan pendidikan
melalui sekolah berhadapan dengan sekolah swasta. Apalagi sekarang ini sudah
mulai banyak sekolah swasta berguguran seperti daun di musim kemarau. Hanya
karena tidak dapat murid dan ditambah lagi dana yang tidak kuat lagi. Ibarat
pertandingan sepakbola antara kontestan Liga Inggris melawan Liga Indonesia.
Hampir pasti Liga Indonesia kalah. Mengapa? Karena otoritas disertai kekuatan
dana dan fasilitas ada pada sekolah-sekolah negeri. Kecuali beberapa sekolah
swasta elite dan kuat yang memiliki dana atau anggaran pendidikan yang kuat.
Seharusnya pemerintah melayani, melindungi dan menjadi wasit yang adil serta
membimbingnya sehingga atas nama Negara, sekolah-sekolah Indonesia mampu
berbicara dan tampil terhormat di forum Internasional.
Sementara itu, masih banyaknya ketimpangan antara kota dan desa juga masih
menganga lebar. Lembaga pendidikan di Kota makin berkembang pesat dengan
berbagai label, SBI, RSBI, Unggulan, Plus, Full Day maupun label-label yang
menunjukkan High Level, dengan Sumber Daya manusia (SDM) baik tenaga pendidik
maupun peserta didik yang bagus dan didukung Insfrastruktur sekaligus pendanaan
yang kuat.
Sarana yang canggih dengan berbagai kelengkapan laboratorium dan ICT yang
berstandar, sementara di belahan Indonesia lainnya masih banyak sekolah yang
atapnya hampir rubuh, guru yang jumlahnya masih terbatas karena masih menumpuk
di daerah perkotaan dan gengsi kalau harus bergeser sedikit ke pinggiran,
anak-anak sekolah yang tak bisa mendapatkan buku ajar yang cukup karena
mahalnya buku-buku pelajaran di toko-toko buku karena harus menyesuaikan dengan
harga BBM meski ada buku murah dengan label BSE tapi tak terbeli, akses informasi
melalui ICT yang masih terisolir, pendanaan yang masih minim dan sarana
prasarana yang masih memprihatinkan. Inilah sedikit potret pendidikan Indonesia
hari ini.
Sebuah harapan
Belum adanya obat yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit dalam
sistem pendidikan kita kecuali kita harus benar-benar berani dan kuat membangun
bangsa dan negara ini bertolak dari jati diri bangsa yang melekat pada hati
nurani kita. Mulai birokrat, pejabat, dari camat hingga ke pusat menggunakan
kekuatan dari dalam (home grown
management) dan tidak saling menggantungkan dari pihak lain dengan rasa
cemburu untuk memenangkan pribadi dan golongan.
Untuk itu diperlukan sistem pendidikan yang visioner, jauh menjangkau ke depan,
untuk semua anak bangsa, karena pendidikan adalah hak dari seluruh anak bangsa.
Oleh karena itu, tidak ada anak miskin maupun anak kaya, anak sekolah negeri
maupun anak sekolah swasta. Tidak boleh ada diskriminasi. Semua memang ada
dalam ke-bhinneka-an negara kita namun tetap dalam Tunggal Ika.
Upaya ini harus dilakukan
secara kolektif dan penuh kesadaran dari seluruh unsur bangsa, dengan terus
menerus tanpa mengenal kata berhenti memberi teladan untuk membentuk
karakter anak bangsa, jangan sampai menyerah
dengan berucap kata putus asa, teruskan dengan tetap bekerja berbasis
profesionalisme, memberikan pelayanan prima, dengan membangun karakter peserta
didik kita agar bebas dari bencana
kebodohan yang disengaja, dan guuru-guru kita terbebas dari intimidasi pungli birokrasi
setiap kali dapat insentif dari usaha
kerasnya, para guru yang mulia sedikit demi sedikit segera beranjak dewasa.
|
Kita semua berharap, Hari pendidikan
Nasional ini menjadi momentum yang tepat untuk mewujudkan cita-cita bangsa
menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang mampu menjadi pembuat sejarah
baru, membangun Indonesia baru yang terbebas dari kekerasan, terbebas dari
nepotisme, terbebas dari segala macam pungli yang lebih besar lagi korupsi, sehingga
bangsa ini tidak sekedar menjadi pengikut tetapi juga pelopor dan pioneer
kemajuan peradaban ummat manusia di dunia. Ayo kita bangun bangsa ini sehingga
menjadi bangsa yang bermartabat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar