Jumat, 27 April 2012

Pendidikan Karakter untuk membangun bangsa


memiliki keanekaragaman adat istiadat, tata krama, pergaulan, kesenian, bahasa, keindahan alam dan keterampilan lokal yang merupakan ciri khas suatu suku bangsa. Keanekaragaman tersebut memperindah dan memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, keanekaragaman tersebut perlu diusahakan pengembangan dan pelestariannya dengan tetap mempertahankannya melalui upaya pendidikan karakter.
Bagi Negara Indonesia, melaksanakan pendidikan karakter berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia mulai sekarang.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa diikuti kejujuran, peningkatan disiplin diri, kegigihan, semangat belajar yang tinggi, mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebhinekaan, serta tanpa rasa percaya diri .
Setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda.  Tiap manusia tidak bisa memilih kepribadiannya, kepribadian sudah hadiah dari Tuhan sang pencipta saat manusia dilahirkan. Dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan social dan masing-masing pribadi.  Tentunya timbul pertanyaan, karakter nya dimana? Saat tiap manusia belajar untuk mengatasi kelemahannya dan memperbaiki kelemahannya dan memunculkan kebiasaan positif yang baru maka inilah yang disebut dengan karakter. Misalnya, seorang koleris murni tetapi sangat santun dalam menyampaikan pendapat dan instruksi kepada sesamanya, seorang yang sanguin mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus. Itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).
Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus di bangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang panjang serta dilakukan secara kontinyu. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.
Banyak kita perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkan yang salah, ekonomi, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali, namun karakter tidaklah demikian. Karakter selalu merupakan hasil pilihan kita sendiri.
Ketahuilah bahwa kita mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan kita seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang kita hargai dalam kehidupan ini. Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya sendiri dengan memiliki pengendali ( control ) atas karakter itu, artinya kita tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter kita yang buruk karena kita yang bertanggung jawab penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab  pribadi masing – masing.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi di rumah dan di lingkungan sosial. Ingatlah tri pusat pendidikan bahwa pendidikan akan berhasil bila ketiganya bisa berjalan serasi selaras dan seimbang yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat ( lingkungan ).
Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa ini. Bayangkan apa persaingan yang muncul 10 tahun mendatang ? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di Dunia. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun itu tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Berkaca pada hasil penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan generasi penerus yang sedang duduk di kursi penting pemerintahan negara ini dan mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, mampukah mereka menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya? Tentunya kita dapat menilai sendiri dari peristiwa – peristiwa yang baru – baru ini rencana kenaikan BBM . apa yang terjadi pada masyarakat kita, apa yang terjadi pada pemimpin kita yang duduk di kursi panas? 
Marilah kita tengok sejarah kebelakang, bagaimana seorang Lee Kwan Yew ketika tahun pertama menjabat PM Singapura, memprioritaskan membangun jiwa, mental, dan karakter warga negaranya. Setelah memasuki tahun kedua, ia membangun seribu WC umum seantero Singapura, lalu membeli seribu dompet yang diisi dengan ratusan dolar Singapura dan kemudian sengaja ditempatkan pada seribu WC umum tersebut. Ketika dicek satu hari setelahnya, seribu dompet itu masih utuh, demikian juga setelah dua hari masih belum ada yang bergeser dari tempatnya. Pada hari ketiga, satu dompet hilang, tetapi ditemukan di kantor polisi di mana isinya tak berkurang. Bagaimana jika itu dilakukan di Indonesia, apakah dompet-dompet tersebut masih akan utuh berikut isinya, atau bahkan mungkin akan hilang beserta dompet – dompetnya…?
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Tujuan ini sangat mulia, seirama dengan bait lagu "Indonesia Raya" tadi yang terlebih dahulu hendak membangun jiwa, baru membangun badannya.
Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya. Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Pada masa Orde Baru menjadi PMP serta PPKn. Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), dengan pendekatan pembelajaran yang didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus transmisi nilai. Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan bahkan merupakan masa puncak dari krisis karakter. Bentuk konkret dari krisis karakter ini terlihat dari kerusakan akibat korupsi, kerusakan ekonomi, konflik horizontal, karakter yang anarki dan cenderung menyenangi kekerasan dan kemunafikan, serta hilangnya kebanggaan menjadi bangsa Indonesia.
Kini tahun 2012, Indonesia kita yang seharusnya makin dewasa karena telah berumur, malah semakin mempertontonkan keanehan sebagai negeri yang dihuni oleh penduduk muslim terbesar di dunia. Entah mengapa dan apa yang keliru, tetapi semuanya harus segera diatasi. Untuk melakukan itu, pendidikan adalah pintu utama, khususnya dalam membangun karakter bangsa yang kukuh..
Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa anda dalam kegelapan". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Sekarang bagaimana membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral?, tentunya tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara parsial. Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.
Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah-sekolah ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak belajar untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya.
Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan oleh orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan PR tersebut.
Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya. Bagaimana mengatasinya? Secara institusional, Lembaga pendidikan telah berusaha memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.
Keluaran (output) pendidikan harus diorientasikan pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga. Ini sesuai drngan pendapat Lickona (2007) menyatakan bahwa terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif : (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral. (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas.
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.
Dengan desain demikian, semoga pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan bersinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar