memiliki keanekaragaman adat istiadat, tata krama,
pergaulan, kesenian, bahasa, keindahan alam dan keterampilan lokal yang
merupakan ciri khas suatu suku bangsa. Keanekaragaman tersebut memperindah dan
memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
keanekaragaman tersebut perlu diusahakan pengembangan dan pelestariannya dengan
tetap mempertahankannya melalui upaya pendidikan karakter.
Bagi Negara Indonesia, melaksanakan pendidikan karakter berarti melakukan usaha
sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan
kesadaran serta keyakinan bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa
membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia mulai sekarang.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik
yang bisa diwujudkan tanpa diikuti kejujuran, peningkatan disiplin diri, kegigihan, semangat belajar yang tinggi, mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa
memupuk persatuan di tengah-tengah kebhinekaan, serta tanpa rasa percaya diri .
Setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda.
Tiap manusia tidak bisa memilih kepribadiannya, kepribadian sudah hadiah dari Tuhan
sang pencipta saat manusia dilahirkan. Dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya
dan kelebihannya di aspek kehidupan social dan masing-masing pribadi.
Tentunya timbul pertanyaan, karakter nya dimana? Saat tiap manusia belajar untuk mengatasi kelemahannya
dan memperbaiki kelemahannya dan memunculkan kebiasaan positif yang baru maka inilah
yang disebut dengan karakter. Misalnya, seorang koleris murni tetapi sangat santun
dalam menyampaikan pendapat dan instruksi kepada sesamanya, seorang yang sanguin
mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan
ketenangan dan perhatian fokus. Itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai
jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya.
Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan
perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).
Karakter tidak bisa diwariskan,
karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter
harus di bangun dan dikembangkan secara sadar
hari demi hari dengan melalui suatu proses yang panjang serta dilakukan secara kontinyu. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir
yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.
Banyak kita perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk
cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara
mereka dibesarkan yang salah, ekonomi, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain
atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar
bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali, namun
karakter tidaklah demikian. Karakter selalu merupakan hasil pilihan kita
sendiri.
Ketahuilah bahwa kita mempunyai
potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter. Karakter, lebih dari
apapun dan akan menjadikan kita seorang pribadi yang memiliki nilai tambah.
Karakter akan melindungi segala sesuatu yang kita hargai dalam kehidupan ini.
Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya sendiri dengan memiliki pengendali
( control ) atas karakter itu, artinya kita tidak dapat menyalahkan
orang lain atas karakter kita yang buruk karena kita yang bertanggung jawab
penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi masing – masing.
Pendidikan karakter,
sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi di rumah dan di lingkungan sosial. Ingatlah tri pusat
pendidikan bahwa pendidikan akan berhasil bila ketiganya bisa berjalan serasi selaras dan
seimbang yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat ( lingkungan ).
Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter
bukan lagi anak usia dini hingga
remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa
ini. Bayangkan apa persaingan yang muncul 10 tahun
mendatang ? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat
itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya
dari berbagai belahan negara di Dunia. Tuntutan
kualitas sumber daya manusia pada tahun itu tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan
individu. Berkaca
pada hasil penelitian di Amerika,
90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak
bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain
itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan
seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan generasi penerus yang sedang duduk di kursi penting pemerintahan negara ini dan mengelola roda
perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati
kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka,
mampukah mereka menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Tentunya kita dapat menilai sendiri dari peristiwa – peristiwa yang baru – baru
ini rencana kenaikan BBM . apa yang terjadi pada masyarakat kita, apa yang
terjadi pada pemimpin kita yang duduk di kursi panas?
Marilah kita tengok sejarah
kebelakang, bagaimana seorang Lee
Kwan Yew ketika tahun pertama menjabat PM Singapura, memprioritaskan membangun
jiwa, mental, dan karakter warga negaranya. Setelah memasuki tahun kedua, ia
membangun seribu WC umum seantero Singapura, lalu membeli seribu dompet yang
diisi dengan ratusan dolar Singapura dan kemudian sengaja ditempatkan pada
seribu WC umum tersebut. Ketika dicek satu hari setelahnya, seribu dompet itu
masih utuh, demikian juga setelah dua hari masih belum ada yang bergeser dari tempatnya. Pada hari ketiga, satu dompet hilang,
tetapi ditemukan di kantor polisi di mana isinya tak berkurang. Bagaimana jika
itu dilakukan di Indonesia, apakah dompet-dompet tersebut masih akan utuh
berikut isinya, atau bahkan mungkin akan hilang beserta dompet – dompetnya…?
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah "menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab." Tujuan ini sangat mulia, seirama dengan bait lagu "Indonesia
Raya" tadi yang terlebih dahulu hendak membangun jiwa, baru membangun
badannya.
Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya.
Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada
zaman Orde Lama. Pada masa Orde Baru menjadi PMP serta PPKn. Namanya memang berbeda,
namun muatan dan orientasinya adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P-4), dengan pendekatan pembelajaran yang didominasi oleh pendekatan
indoktrinatif dengan modus transmisi nilai. Tahun 1997 Indonesia mengalami
krisis ekonomi dan bahkan merupakan masa puncak dari krisis karakter. Bentuk
konkret dari krisis karakter ini terlihat dari kerusakan akibat korupsi,
kerusakan ekonomi, konflik horizontal, karakter yang anarki dan cenderung
menyenangi kekerasan dan kemunafikan, serta hilangnya kebanggaan menjadi bangsa
Indonesia.
Kini tahun 2012, Indonesia kita yang seharusnya makin dewasa karena telah
berumur, malah semakin
mempertontonkan keanehan sebagai negeri yang dihuni oleh penduduk muslim
terbesar di dunia. Entah mengapa dan apa yang keliru, tetapi semuanya harus
segera diatasi. Untuk melakukan itu, pendidikan adalah pintu utama, khususnya dalam
membangun karakter bangsa yang kukuh..
Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan
secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang
mendefinisikan karakter sebagai "siapa anda dalam kegelapan".
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan
nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari
kehidupan moral.
Sekarang bagaimana
membangun karakter dari pintu pendidikan harus
dilakukan secara komprehensif-integral?, tentunya
tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga
melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan
pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang
lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara
parsial. Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di
depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak, melakukan sabotase,
adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.
Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak
menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan
pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah-sekolah ramai membuat
kantin kejujuran. Anak diajak belajar
untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang
dibeli tanpa ada yang mengontrolnya.
Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam
mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan
berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak
didik. Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan
oleh orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan
PR tersebut.
Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi
contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang
lainnya. Bagaimana mengatasinya? Secara
institusional, Lembaga pendidikan telah berusaha memasukkan pendidikan budaya
dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah
dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan
nasional.
Keluaran (output) pendidikan harus diorientasikan pada
keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft
skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi
juga cerdas hati, dan cerdas raga. Ini sesuai drngan pendapat Lickona (2007)
menyatakan bahwa terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan
efektif : (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja
pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif
yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang
komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang
penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral. (6)
buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua
peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7)
Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan
moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11)
evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan
sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Agar dapat berjalan
efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1)
Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan
siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha
membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan
bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan
dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas.
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang
sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat
umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan
pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.
Dengan desain demikian, semoga pendidikan karakter akan senantiasa hidup
dan bersinergi
dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam
kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul
dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi
anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang
dipelajari dan dilihatnya itu. Semoga.